Kamis, 17 Januari 2008

curhat penerbit buku untuk mahasiswa

Cerita ini bermula dari uneg-uneg seorang penerbit buku di Jogja mengenai kondisi mahasiswa kita saat ini, “Semua benda-benda bergengsi dimiliki mahasiswa sekarang, dari mulai kendaraan hingga komputer dan HP tercanggih. Gaya hidup orang-orang barat telah menjadi bagian penting bagi mahasiswa, mulai dari nongkrong di kafe, mall, dan tempat sejenisnya. Tapi satu benda di dunia ini yang mereka berpikir panjang untuk memilikinya, yaitu BUKU!”. Kemudian penerbit tersebut memaparkan dugaan bahwa jumlah ekslempar buku-buku yang terbit, tak pernah ada hubungannya dengan jumlah mahasiswa yang tiap tahun menembus angka ratusan ribu. “itu artinya mereka memang tidak butuh buku-buku itu, atau mereka lebih suka untuk membajak ? Jangankan buku ilmiah seperti buku filsafat, ekonomi, dan sosial, bahkan buku sastra pun mereka malas membelinya!”.

Menurut penelitian Taufiq Ismail untuk bacaan buku-buku karya sastra yang dilakukan di seluruh dunia, Indonesia memang memiliki peringkat terendah dengan angka 0 (nol) buku, yang artinya adalah: selama 3 tahun mereka belajar (tingkat SMP/SMA), tak satu pun buku yang “diwajibkan” tuntas dibaca. Kenapa standarnya karya sastra? Karena dari sinilah indikasi awal pada kegemaran membaca, dimana pada SMA-SMA di seluruh dunia (terutama untuk negara maju) pada kurikulumnya mereka diwajibkan untuk membaca karya sastra. Karya sastra adalah pintu gerbang yang membuka imajinasi dan kreativitas yang dibutuhkan oleh semua cabang ilmu pengetahuan. Lewat karya sastra kegemaran membaca terbuka. Orang yang gemar membaca karya sastra, mereka pasti akan meluaskan kegemarannya pada buku-buku lain.

Penerbit itu juga mengatakan bahwa, “Musuh utama buku di kalangan mahasiswa sekarang adalah PULSA. Dalam satu minggu mereka bisa menghabiskan pulsa hingga hitungan angka 100 ribu rupiah, yang mungkin jika dikira-kira jumlah itu minimal dapat dibelikan 3 buku. Artinya, dalam 1 bulan mereka sesungguhnya bisa membeli 12 buku”.

Penerbit itu sesungguhnya teramat geram dengan kondisi kebanyakan mahasiswa kita sekarang. Tapi apa mau dikata? Kenyataannya, setiap tahun puluhan ribu sarjana baru tiba-tiba linglung dan menganggur, menjadi beban baru bagi Negara yang sesungguhnya sudah mengurus mereka dengan baik melalui subsidi pendidikan (dalam bentuk fasilitas, gaji dosen dan pegawai, dll) yang tak kurang dari 2 juta rupiah setiap semesternya. Tapi apa yang didapat negara dari subsidi itu, kecuali beban pengangguran yang semakin bertambah?

Menurut penerbit itu, saat ini Indonesia telah salah menerapkan strategi kebudayaan. Dari kebudayaan lisan, mustinya kita merangkak ke budaya aksara/tulisan. Akan tetapi kita dengan gagah berani malah melompat menuju budaya audio visual yang miskin analisis. Bangsa ini, lewat audio visual, telah dididik menjadi bangsa pemakan yang rakus, yang selalu menerima paksaan informasi berupa psikologi gambar dan suara, yang dijejalkan setiap hari, setiap menit, setiap detik, sehingga melumpuhkan kreativitas. Padahal membaca dapat mempertajam analisis, mengasah daya kritis, dan kesabaran untuk meneliti dan menemukan. Tapi audio visual membunuh kekuatan itu, dan meninabobokan korban-korbannya hingga pada taraf lumpuh, tak sanggup berpikir keras, menerima dengan pasrah kondisi yang dialami apa adanya, termasuk menjadi penganggur. Ada banyak mahasiswa yang ketika lulus tak begitu cerdas melihat kehidupan, karena tidak terbiasa untuk berpikir secara sistematis dan kreatif. Lebih-lebih kemampuan untuk bersaing, karena mahasiswa kita terbiasa untuk tidak percaya diri ketika ujian dengan seringnya mencontek. Begitulah nasib kita kawan!

Kemudian penerbit itu kembali menekuk wajahnya karena teringat kembali sebuah kisah ketika ia berdialog dengan seorang mahasiswa, yang kemudian diajukan sebuah pertanyaan kepadanya, “Apakah engkau tidak pernah merasa bahwa subsidi pendidikan yang diberikan Negara untuk kelancaran kuliahmu adalah sebuah amanah? Amanah dari rakyat, amanah dari keringat serta penderitaan mereka, karena subsidi itu berasal dari pajak. Pajak yang dibayarkan dari pedagang sayur di pasar, dari tukang becak yang membeli indomie misalnya, dari seorang buruh yang membeli rokok, dari pengemis, dari penjudi, dari pemabuk. Mereka semua menyimpan harapan bahwa kelak, engkau sebagai seorang mahasiswa akan membangun bangsa ini menjadi lebih baik, karena mereka percaya bahwa engkau adalah kaum terdidik. Lalu bagaimana mungkin engkau bisa menghamburkan waktumu dengan sibuk berjam-jam setiap hari berhalo-halo menghamburkan uang bersama pacar-pacarmu, merusak komputermu dengan gambar-gambar dari VCD bajakan, begadang hanya untuk berhura-hura di kafe hingga engkau pulang larut malam untuk kemudian siang harinya engkau mengantuk? Apakah engkau tahu bahwa mengkhianati amanah jutaan rakyat adalah sebuah dosa, yang kelak akan engkau pertanggungjawabkan dengan berat dihadapan Tuhanmu?

Tetapi sesaat kemudian penerbit itu kembali tersenyum dan bernafas lega karena ia teringat dengan sekelompok kecil mahasiswa yang masih bertanggungjawab terhadap beban yang (terutama) dititipkan orangtua mereka. Yaitu mereka yang masih terlihat bergerombol di perpustakaan, mereka yang dengan jujur mengerjakan ujian tanpa mencotek, mereka yang sedang rapat di sebuah ruangan organisasi, mereka yang masih terlihat sabar memilih-milih judul di toko buku, mereka yang pantas dibanggakan yakni ketika negara melakukan kesalahan dan mereka bergerombol merapatkan barisan untuk mengingatkan.

Begitulah kira-kira uneg-uneg salah seorang penerbit mengenai kondisi kita, mahasiswa… semoga kita mampu menjadi sosok-sosok mahasiswa yang tidak hanya bertanggungjawab terhadap amanah, tapi juga mampu dibanggakan oleh bangsa Indonesia. (dari berbagai sumber)

Kecerdasan adalah abstraksi kepribadian dalam memandang dan menghayati kehidupan…”

1 komentar:

ichan mengatakan...

Ehyaaa.. Saya tidak sampai kepikiran sejauh itu sampai kepada pengmis, pemabuk, dll, dn syyakin merekapun tdk berpikir sejauh itu., tp., amanah tetap amanh., mksh telah di ingatkan., :D